Selasa, 10 Mei 2011

Warisan bagi anak angkat menurut islam dan kompilasi hukum islam


BAB I

PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG

Pembagian harta warisan bagi umat Islam adalah keharusan. Alasannya bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syariat yang ditunjuk oleh nash-nash adalah suatu keharusan. Bagi umat Islam yang menaati dan melaksanakan ketentuan pembagian sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT niscaya mereka akan dimasukkan ke dalam surga untuk selama-lamanya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mengindahkannya akan dimasukkan dalam api neraka untuk selama-lamanya.[1]
Pewarisan merupakan langkah-langkah penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik berwujud maupun tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Berdasarkan Hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum waris perdata, anak-anak dari pewaris merupakan golongan ahli waris yang utama, artinya lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris bila pewaris meninggalkan anak-anak.[2]
Anak adalah amanah dari Allah SWT, karena itu setiap anak yang lahir wajib dilindungi hak-haknya. Hal ini juga berarti, para orang tua tidak akan menelantarkan atau menyia-nyiakan anak-anaknya. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang tua yang belum memiliki anak setelah lama berkeluarga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain sebagai bentuk kepedulian sosial, meskipun mereka memiliki anak kandung sendiri. Umumnya mereka mengangkat anak-anak saudara mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Meskipun demikian, ada juga kasus di mana anak-anak yang diangkat tidak memiliki hubungan persaudaran secara langsung dengan calon orang tua angkatnya.[3]
Keberadaan anak angkat di tengah masyarakat adat yang dilakukan oleh keluarga tertentu, nampaknya menjadi fenomena yang cukup menarik untuk dapat diperbincangkan dalam khasanah keilmuan dewasa ini. Anak merupakan amanat dari Tuhan yang maha kuasa, yang diberikan agar dapat dipelihara secara lahir dan bathin oleh keluarga. Seorang anak memang layak hidup dengan segala kebutuhan yang diusahakan oleh kedua orang tua kandung, karena memang sudah menjadi tanggungjawabnya. Namun demikian, keadaan tersebut sering kali tidaklah dapat dirasakan oleh beberapa anak yang mungkin karena salah satu atau kedua orang tuanya telah tiada. Kemungkinan ini menimbulkan keadaan hidup si anak tidak lagi selayak anak yang lain, yang masih mempunyai orang tua kandung. Keadaan seperti ini, dapat pula terjadi dengan adanya kemungkinan karena kedua orang tua kandung memang tidak mampu secara ekonomi membiayai hidup si anak. Beberapa sebab lain dapat pula terjadi, sehingga oleh keluarga lain si anak kemudian diambil untuk dijadikan anak angkat. Pengangkatan anak oleh keluarga tertentu pada akhirnya mempunyai akibat-akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari. Keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan satu dengan yang lain. Sehungga, pada saatnya anak angkat dapat diperhitungkan sebagai orang yang berhak mendapatkan harta orang tua angkat setelah meninggal. Inilah akibat yang dimaksud terjadi dikemudian hari. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa keberadaan anak angkat tersebut di atas mempunyai kedudukan terhadap harta warisan.[4]
B. Rumusan permasalahan
a. bagaimana perwarisan anak angkat menurut  hukum islam?
b. bagaimana perwarisan anak angkat menurut kompilasi hukum islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perwarisan anak angkat menurut  hukum islam
Tujuan seseorang melakukan pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala di dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga, bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anakpun. Dengan mengangkat anak diharapkan supaya ada yang memelihara di hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya. Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh kerena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status demikian inilah yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga. Persoalan yang sering muncul dalam peristiwa gugat menggugat itu biasanya mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.[5]

Islam sudah mengenal pengangkatan anak sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Karena Rasulullah SAW juga mengangkat seorang anak, Zaid bin Haristah. Dalam pengangkatan anak dalam Islam, nasab (keturunan karena pertalian darah) tidak boleh dihilangkan. Nasab anak angkat tetaplah mengacu pada ayah kandungnya. Zaid tidak disebut atau dipanggil dengan Zain bin Muhammad, tetapi Zaid bin Haristah. Jadi, anak angkat dalam Islam tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran Surat Al Ahzab Ayat 5, yang artinya “Panggillah mereka (anak-anak angkat) menurut (nama) bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi Allah SWT. Kalau kamu tiada mengetahui bapaknya, mereka menjadi saudara kamu dalam agama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tiada dosa atasmu apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Alah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.[6]
Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bias dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah / nasab / keturunan (Hilman Hadikusuma 1983:78). Dengan kata lain bahwa peristiwa pegangkatan anak menurut hokum kawarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut (Zakiah Darodjat 1986:64). Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua angkatnya.[7]
Hukum Islam menentukan bahwa pengangkatan anak dibolehkan tetapi akibat hukum terhadap status dan keberadaan anak angkat adalah sebagai berikut : Status anak angkat tidak dihubungkan dengan orang tua angkatnya, tetapi seperti sedia kala, yaitu nasab tetap dihubungkan dengan orang tua kandungnya. Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka antara anak angkat dan orang tua angkatnya tidak ada akibat saling mewarisi. menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah / nasab / keturunan. Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut.[8]

B. Perwarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian wasiat wajibah. dengan syarat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Kedudukan (status) anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tetap sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab darah dengan orang tua kandungya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala kebutuhannya.Pembagian harta warisan bagi anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan melalui hibah atau dengan jalan wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya, hal ini untuk melindungi para ahli waris lainnya.Dengan demikian, adopsi yang dilarang menurut ketentuan dalam hukum Islam adalah seperti dalam pengertian aslinya, yakni menurut istilah hukum barat (BW) yaitu mengangkat anak secara mutlak. Dalam hal ini adalah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sendiri, seperti hak menerima warisan sepeninggalnya dan larangan kawin dengan dengan keluarganya.[9]
Dalam Pasal 39 ayat (2) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan, pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Dalam Pasal 40 ayat (1) ditegaskan, orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Tetapi tentu saja, pemberitahuan ini dilakukan dengan memperhatikan kesiapan si anak. Menurut hukum formal di dalam Islam, pengangkatan anak mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI pasal 171 huruf h disebutkan, anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Menyangkut hak waris anak angkat mengacu pada Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) KHI, dimana anak angkat dan ayah angkat masing-masing mendapat harta warisan berupa wasiat wajibah. Jika si anak angkat meninggal dunia, maka ayah angkat secara otomatis berhak mendapatkan wasiat wajibah dari harta warisan si anak angkat tersebut. Sebaliknya, jika ayah angkat meninggal dunia dan meninggalkan warisan, si anak angkat juga berhak mendapat wasiat wajibah dari harta warisan tersebut. Wasiat wajibah adalah dimana seseorang –dalam hal ini baik ayah angkat maupun anak angkat- hanya mendapat 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya atau ayah angkatnya.[10]
Seseorang melakukan pengangkatan anak ada faktor yang melatar belakanginya. Disini akan diberikan beberapa alasan atau latar belakang dilakukannya pengangkatan anak oleh para ahli, yaitu M. Budiarto, SH. (1991:16) dalam bukunya “Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum”, bahwa faktor atau latar belakang dilakukannya pengangkatan anak yaitu:[11]
1)      Bagi PNS ada keinginan agar memperoleh tunjangan gaji dari pemerintah.
2)      Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai anak.
3)      Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai “pancingan”.
4)      Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dipunyai.
5)      Sebagai belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan sebagainya.

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 pengesahan/pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI) harus memperhatikan :[12]

  1. Syarat dan bentuk surat permohonan yang diajukan.
  2. Isi surat permohonan, dimana disebutkan dasar (motif) yang mendorong diajukannya permohonan pengesahan/pengangkatan anak tersebut. Hal lain juga, harus menunjukkan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak dilakukan terutama untuk kepentingan si anak yang bersangkutan, dan digambarkan kemungkinan hari depan si anak setelah pengangkatan anak calon orang tua angkat atau si pemohon adalah:

  1. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antar orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption)diperbolehkan.
  2. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan Syarat bagi calon anak yang diangkat:

  1. Jika si anak yang akan diangkat berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah dizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak
  2. Calon anak yang akan diangkat harus juga mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat




[1] Cinantya Rizky Dewi Santosa, S.H., Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Dalam Kompilasi Hukum Islam., WWW.GOOGLE.COM, Hal 1
[2] Listiana Advokat, Diambil dari Buku :”Gejolak Perkawinan” yang dikeluarkan oleh LKBHUWK, WWW.GOOGLE.COM.

[3] di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM

[4] WARFU’AH PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, www.google.com.

[5] Evy Khristiana, STATUS ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), SKRIPSI, Hal 2.


[6] Op-cit, di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM
[7] Op-cit, Evy Khristiana, Hal 3
[8] Op-cit, Cinantya Rizky Dewi Santosa, S.H
[9] Ibid, Cinantya Rizky Dewi Santosa, S.H

[10] Op-cit, di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM
[11] Op-cit, Evy Khristiana Hal 15
[12] Op-cit, di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM

Tidak ada komentar: